Minggu, 26 April 2020

Tiga Elemen Dalam Transparansi Informasi Untuk Tujuan Pembangunan

Wawan Setiawan Tirta

Oleh Prof. Dr. Suwardi Lubis, MS



Perkembangan sosial, politik, serta budaya suatu bangsa terlihat dari interaksi yang terjadi antara masyarakatnya, yang merupakan cerminan dari filsafat komunikasi yang berlangsung.  Komunikasi yang berlangsung dalam interaksi antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga-lembaga yang ada. Sedangkan media massa berperan sebagai salah satu bentuk lembaga yang berperanserta memberi andil dalam perkembangan berbagai sektor kehidupan dalam sebuah negara.
Perkembangan media massa kontemporer, tidak terlepas dari akselerasinya di ruang publik, yang dalam perkembangannya semakin banyak melibatkan publik. Tidak jarang dalam dinamikanya memunculkan persoalan-persoalan yang justru dilematis dalam konteks berbangsa. Artikel singkat ini mencoba menggambarkan bagaimana informasi disebarkan dengan media massa berperan penting di dalamnya, dalam rangka penyebaran informasi publik yang transparan dan akuntabel.
Ada tiga bagian dari artikel ini yang akan dibahas satu per satu, yang menyangkut formasi ideal arus informasi publik:
1. Transparansi dan akuntabilitas informasi melalui media massa.
2. Taat pada azas, dan norma yang dianut bangsa ini.
3. Aspirasi dan keseimbangan informasi antara pemerintah dan masyarakat.
           
            Ketiga hal ini dipandangan merupakan suatu rangkaian yang tak terpisahkan, dan sebagai prasyarat sehatnya diseminasi informasi dalam sebuah negara. Kekurangan pada satu poin atau penekanan pada poin tertentu dan pelemahan pada poin yang lainnya akan menimbulkan ketidakseimbangan arus informasi. Ketidaksemimbangan seperti ini pada akhirnya akan memicu berbagai ketimpangan sosial, kesalahpengertian kolektif, dan mispersepsi bahkan distrust satu sama lain. Karenanya media massa memang harus diposisikan secara ideal menyerap dan menyebarkan informasi yang dibutuhkan publik.
            Artikel ini merasa perlu ditulis melihat dinamika media massa mainstream kontemporer yang menyulut berbagai diskursus tentang keberadaannya. Hubungan antara media massa dengan pemerintah, hubungan antara media massa dengan masyarakat, dan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat seolah berada pada babak baru. Media massa kini dapat dikatakan bebas dan merdeka dalam konten-konten pemberitaannya, tetapi dalam kebebasannya itu media massa mainstream seolah justru terkesan merapat kepada pemerintah dan pada saat yang sama mengambil jarak dengan masyarakat. Justru ketika kondisi bangsa mengalami berbagai persoalan serius, dari mulai menguatnya sentimen integrasi muncul, perekonomian yang semakin memburuk, fundamental ekonomi yang semakin kritis, serta ancaman gesekkan horizontal, media massa mainstream justru terlihat semakin “mesra” dengan pemerintah. Publik yang berharap mendapat informasi yang kritis dan mendalam, malah cenderung sering disajikan perspektif pemerintah dalam banyak persoalan. Hubungan seperti ini tentunya tidak sehat dalam perspektif berbangsa dan bernegara.
            Jika dengan pemerintah terlihat mesra, maka tidak demikian hubungan media massa dengan masyarakat. Keresahan tentang ketidakberimbangan dan ketidakadilan sajian informasi muncul di mana-mana. Dalam dalam momen tertentu kemunculkan keresahan itu terjadi secara massif. Gerakan tidak percaya pada salah satu stasiun televisi yakni Metro TV sempat muncul, yang merupakan gerakan pertama dalam sejarah media massa di Indonesia. Sedangkan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat tampaknya juga mengalami suatu massa keterbelahan. Pemerintah terkesan tidak berdiri di semua golongan, namun pada satu golongan dan berhadap-hadapan dengan golongan yang lain. Refleksi ini tentunya juga dapat dilihat dalam akselerasi pesan-pesan komunikasi massa yang terjadi. Masyarakat seolah berada pada suatu babak dimana pemerintahan yang memiliki agendanya sendiri yang sejalan dengan agenda kelompok tertentu, dan berlawanan dengan agenda kelompok lainnya. Friksi ini berlangsung dengan dinamika tinggi dan sarat pesan-pesan informasi di ruang publik.
Secara sederhana gambar di bawah ini menunjukkan kesatuan keseimbangan ketiga elemen dalam transparansi informasi untuk tujuan pembangunan tersebut: 




 serta budaya suatu bangsa terlihat dari interaksi yang terjadi antara masyarakatnya Tiga Elemen Dalam Transparansi Informasi  Untuk Tujuan Pembangunan 



1. Transparansi Dan Akuntabilitas Informasi Melalui Media Massa
            Pemerintah memang memiliki kewajiban dalam transparansi dan akuntabilitas informasi melalui media massa. Karena hal inilah yang mencirikan negara demokrasi dengan pemerintahan yang dipilih dari sistem demokratis sesuai keinginan rakyat. Tanpa kewajiban tersebut, maka suatu pemerintahan akan cenderung otoriter bahkan tirani. Karena itu keterbukaan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan adalah suatu faktor penting dalam perjalanan sebuah negara demokrasi.
Karenanya sudah selayaknya komunikasi politik pemerintah pada rakyatnya dilandasi semangat transparansi dan akuntabilitas. Artinya bertendensi pada keterbukaan dan apa yang disampaikan tentunya harus bisa dipertanggungjawabkan. Pemerintah harus meninggalkan kesan menggunakan media massa untuk kepentingan informasi sepihak yang tidak akuntabel. Sebaliknya media massa, khususnya media massa mainstream harus mengambil peran kritis terhadap pemerintah. Bukan sekedar menjadi “penyambung lidah” kekuasaan.
            Pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah mesti melihat media massa sebagai partner kerja dalam rangka pembangunan. Perspektif ini penting untuk tidak menyimpang dengan melihat media massa sebagai alat bagi kepentingan kekuasaan semata.  Karena ketika media massa dilihat sebagai partner kerja dalam rangka pembangunan, maka sebaran informasi harus dibiarkan berimbang, luas, dan mendalam. Karena tujuan penyebaran informasi tersebut adalah tujuan pembangunan itu sendiri. Oleh karenanya kepentingan terbesar adalah pada transparansi dan akuntabilitasnya.
Kita mengenal kajian tentang negara yang pada dasarnya menyebutkan bahwa peran negara yang paling hakiki adalah mengupayakan kesejahteraan warga negara. Dalam suatu sistem negara, seperti misalnya negara yang menganut sistem kapitalis, maka kekuatan pasar berpeluang besar menjalin aliansi ataupun melakukan penetrasi ke ranah negara di mana kebijakan publik dirumuskan dan dijalankan. Dalam konteks Indonesia, peluang semacam ini diperbesar oleh terciptanya liberalisasi politik yang datang sebagai suatu paket bersama liberalisasi ekonomi selama era reformasi [Hidayat, 2009].
            Dalam perkembangannya, suatu pemerintahan perlu untuk menyebarkan hasil-hasil pembangunan untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Dan media massa adalah partner ideal untuk itu. Pemerintah masih melihat pers dari sisi partikular pihak yang merasa menjadi sasaran kritik pedas media massa. Bukan sebagai perancang dan pelaksana kebijakan yang seharusnya konsisten dengan sikap yang imparsial. Maka, respons yang dimunculkan pemerintah juga sangat partikular, yakni bagaimana mengontrol dan mereduksi kebebasan media [Sudibyo, 2009].
            Dalam perjalanannya kemudian kita menemukan beberapa hubungan pemerintah dengan media massa. Di masa Orde Baru, hubungan pemerintah dengan media massa cenderung menekan, sehingga media tidak dapat berkreasi, bahkan cenderung terkukung dalam menyuarakan hak-hak publik. Di awal masa Reformasi, media massa mengalami masa kebebasan yang hampir tak ada batas. Bebagai kritik sarkastik menjadi muatan media massa yang mengambil posisi berhadap-hadapan dengan pemerintah. Di rejim pemerintahan kali ini, hubungan pemerintah dengan media massa memasuki fase baru yang cenderung unik. Media massa tidak mengalami tekanan, juga tidak dalam posisi berhadap-hadapan dengan pemerintah, namun dalam situasi bekerjasama. Padahal, dalam kancah politik, media massa punya peran penting dalam memaksimalkan peran warga negara dalam mengawasi tindakan pemerintah dan menggunakan informasi yang diperoleh warga tersebut dalam mengambil keputusan di kemudian hari [Besley, et. al, 2002]. Namun kecenderungan ini pada akhirnya mengarah pada suatu kondisi yang buruk bagi demokrasi, karena kepentingan rakyat yang sering terabaikan oleh kepentingan pemerintah dan media massa.
            Salah satu indikator hubungan mesra pemerintahan dengan media massa adalah semakin seringnya muatan pencitraan oleh media massa. Citra adalah kesan yang timbul karena pemahaman atas sesuatu (Kasali, 1994). Dalam definisi ini tentu tidak ada yang salah dengan pencitraan, namun yang menjadi persoalan, pencitraan seringkali mendahului prestasi yang dilakukan. Karena itu kecenderungan pada pencitraan oleh kekuasaan yang bertendensi negatif harus ditinggalkan karena merusak tatanan proses komunikasi sebab akan cenderung menyajika utopia ketimbang realitas. Pubik yang kenyang informasi utopis adalah publik yang akan kehilangan daya nalarnya, hingga akan cenderung lambat merespons suatu kondisi. Tentunya bukan masyarakat seperti ini yang kita inginkan. Karena pesatnya perkembangan dunia memerlukan masyarakat yang dinamis pula untuk mengimbanginya. Jika tidak demikian, maka hampir pasti kita akan tetap ketinggalan dari negara-negara lain.
           
2. Taat Pada Azas, Dan Norma Yang Dianut Bangsa Ini
Harus difahami bahwa syarat utama akuntabilitas politik pers yang bebas. Makna pers yang bebas di sini adalah pers yang tidak berada dalam tekanan ataupun rayuan kekuasaan, dan pers yang bertindak untuk kepentingan publik. Persoalannya pemerintah tidak pernah membayangkan atau tidak memiliki visi tentang pers yang profesional, kritis, dan independen. Pemerintah, masih terjebak dalam kerangka berpikir khas Orde Baru, di mana pers ditempatkan sebagai mitra pemerintah, bahkan sebagai instrumen penyelenggaraan kekuasaan [Sudibyo, 2009].
Media massa yang ideal juga disyaratkan memiliki karakter yang kuat dalam memegang kuat azas, dan norma di mana dia tumbuh. Karena penyebaran informasi bukanlah sesuatu yang bebas nilai, namun harus tunduk dan patuh pada nilai-nilai tersebut. Iklim tempat media massa hidup adalah masyarakat yang tumbuh dengan segala dinamikanya adalah iklim yang tidak bebas nilai. Nilai-nilai tersebut sudah semestinya dianut oleh media massa dalam aktivitas penyebaran informasinya. Perbedaan iklim di setiap masyarakat inilah yang membedakan tampilan media massa di daratan Eropa atau Amerika dengan media massa yang hidup di Indonesia. Sebagai contoh adalah bahwa di televisi Jerman adalah legal menyiarkan adegan suami istri pada jam-jam tertentu di waktu malam hari. Hal ini bisa terjadi karena iklim masyarakat di sana menerimanya karena nilai-nilai yang dianut masyarakat Jerman lebih kurang sesuai dengan tayangan televisi tersebut.
Namun tayangan tersebut tentu saja tidak cocok dengan negara seperti Indonesia. Alasannya tidak lain karena di negeri ini, segala norma, dan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya tidak menerima tayangan seperti itu ditampilkan secara bebas. Dalam tataran yang lebih spesifik, muatan tayangan hendaknya juga mengacu pada nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia tidak akrab dengan fitnah dan pembunuhan karakter seseorang atau kelompok orang secara terbuka di media massa. Namun belakangan ha; tersebut justru ramai terjadi. Suatu masalah disajikan sedemikian rupa kepada masyarakat secara luas dengan tendensi tertentu sehingga membentuk persepsi publik yang keliru. Persepsi seperti ini seringkali menjadi tujuan dari massifnya informasi yang bias melalui media massa. Karenanya memang, fungsi media massa menyebarkan informasi pembangunan kepada khalayak mesti mengalami reorientasi, dari dominasi profit kepada kepentingan publik. Karena ketika titik tekan orientasi media massa pada profit melulu, maka masyarakat akan menjadi korban seperti terjadi friksi, saling menuding, dan saling mengklaim. Keterbelahan di dalam masyarakat merupakan buah dari kontribusi yang tidak sedikit dari penyebaran informasi dari media massa yang mesra dengan pemerintah.
Maka faktor budaya adalah soalan penting bahkan strategis. Kebudayaan sebagai kompleksitas keseluruhan yang meliputi kepercayaan, moral, hukum dan kemampuan lainnya termasuk kebiasaan yang didapatkan dari anggota masyarakatnya. Konsep ini ditransmisikan secara sosial dan mendapatkan justifikasi atas intervensi budaya luar yang masuk karena kemajuan teknologi informasi canggih [Edward Tylor dalam Rodman, 2011]. Ketika kemudian hegemoni atas media massa tak terkontrol maka yang terjadi adalah cultural imperialism. Kondisi seperti inilah yang dikhawatirkan terjadi di era belakangan ini.
Dalam hubungan budaya dengan media massa perlu juga diperhatikan konteks budaya yang melatarinya. Konsep tentang budaya tinggi [high context], yakni budaya yang sangat mengandalkan isyarat situasional yang halus dan non verbal dalam berkomunikasi. Di lain sisi ada kontek budaya rendah [low context] yang sangat mengandalkan kata-kata dalam penyampaian makna ketika berkomunikasi [Sephen R. Robin, 2001]. Perbedaan konteks ini merujuk pada perbedaan wilayah yang berbeda dan memiliki normal dan nilai-nilai yang berbeda yang dianut masyarakat yang hidup di dalamnya.
Karenanya memang penting sekali melakukan reorientasi tujuan media massa sehingga kepentingan-kepentingan publik dapat diselamatkan. Reorientasi itu harus bertumpu pada norma-noma yang menjadi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat ini. Pesan-pesan pembangunan oleh pemerintah melalui informasi yang disajikan media massa harus merujuk pada tatanan nilai bangsa ini.

3. Aspirasi Dan Keseimbangan Informasi Antara Pemerintah Dan Masyarakat
            Di manapun di dunia ini, pembangunan tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa bantuan dan dukungan rakyatnya. Untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan secara baik dan benar, masyarakat mesti memiliki asupan informasi yang luas. Dengan kata lain, diseminasi informasi yang sesuai takaran diperlukan untuk memicu parisipasi masyarakat dalam mendukung peogram pembangunan yang dijalankan.
            Karena itu aspirasi masyarakat adalah sebuah keniscayaan di ruang pubik. Ruang publik [public sphere] dalam sistem politik kontemporer adalah ruang yang dapat mewadahi publik dalam menyampaikan aspirasinya terhadap negara. Habermas menyitir ruang publik sebagai ruang [kondisi-kondisi] yang memungkinkan para warga negara [private sphere] datang bersama-sama mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya untuk membentuk opini dan kehendak bersama seara diskursi [Habermas, 1993].
            Dalam ruang publik, kondisi-kondisi [nilai-nilai] yang tercipta adalah kondisi yang inklusif, egaliter, dan bebas dari tekanan [Hardiman, 1994]. Kondisi-kondisi yang dimaksud Habermas adalah; pertama, semua warga negara yang mampu berkomunikasi memiliki hak yang sama dalam berpartisipasi di ruang publik. Kedua, semua partisipan memiliki peluang yang sama untuk mencapai konsensus yang fair dan memperlakukan rekan komunikasinya sebagai pribadi-pribadi yang otonom dan bertanggungjawab, bukan sebagai alat yang dipakai untuk kepentingan tertentu. Ketiga, ada aturan  bersama yang melindungi proses komunikasi dari tekanan dan diskriminasi, sehingga argumen yang lebih baik menjadi dasar proses diskusi [Habermas, 1993].
Oleh karena itu dengan aspirasi yang tersalurkan secara proporsional, sebuah negara akan berlangsung secara seimbang. Sebaliknya apabila aspirasi tersumbat maka ia akan muncul dalam bentuk lain seperti mimbar jalanan, aksi-aksi protes ataupun tindakan yang menjurus anarkis. Oleh karenanya pemerintah harus sangat berkepentingan terhadap aspirasi masyarakat dan memperlakukannya sebagaimana mestinya. Jika hal ini abai, maka keseimbangan suatu negara akan mulai terganggu.
            Di dalam pemerintahan yang demokratis sesungguhnya mewadahi aspirasi masyarakat tersebut. Salah satunya melalui pelembagaan perwakilan yang di Indonesia dikenal dengan Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah [DPR/DPRD], yang merupakan jalur partai politik yang dibentuk untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Dari jalur non politik kita mengenalnya dengan nama Dewan Perwakilan Daerah [DPD]. Di samping itu ada media massa yang secara informal dan tak terlembaga secara resmi dalam struktur pemerintahan yang memberi pengaruh besar. Jika lembaga perwakilan yang terlembaga itu bersifat sangat politis dan sarat kepentingan, maka sesungguhnya media massa mainstream harus bisa lebih fleksibel mewadahi semua golongan. Karena hanya dengan itu diseminasi informasi dapat berlangsung mendorong pembangunan secara berkeadilan.

Penutup
            Ketiga poin di atas adalah formasi ideal bagi arus informasi publik. Kesadaran penerapannya adalah sebuah keniscayaan karena berbagai persoalan kebangsaan yang muncul seringkali karena kondisi pemisahan dan penerapannya yang dilakukan secara parsial.


DAFTAR BACAAN


Besley, Timothy, et. al. 2002. Mass Media and Political Accountability dalam The Right to
Tell:the Role of Mass Media in Economic Development, World Bank Institute.

Habermas, Jurgen. 1993. The Structural Transformation of The Public Sphere An Inquiry into
a Category of Bourgeois Society, Translated by Thomas Burger. Cambridge
Massachusetts: MIT Press,.

Hardiman, Franky Budiman. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta:
Kanisius.

Hidayat, Dedy N. 2009. Mengkaji Media Secara Holistik, pengantar buku Kebebasan Semu,
Penjajahan Baru di Jagat Media, Jakarta: Penerbit Kompas,

Kasali, Rhenald. 1994. Manajemen Public Relations. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Robbins, Stephen P. 2006. Perilaku Organisasi, PT. Indeks kelompok Gramedia.

Rodman. 2011. Mass Media In A Changing World, History, Industry, Controversy, Fourth
Edition. McGraw-Hill International Edition.

Sudibyo, Agus. 2009. Program Legislasi dan Tendesni Antikebebasan Pers. Jakarta: Penerbit
Kompas.