Selasa, 05 November 2019

Organisasi Sosial Kemasyarakatan Masa Pendudukan Jepang

Wawan Setiawan Tirta
Banyak organisasi pergerakan yang dibentuk pada zaman Jepang. Sama seperti organisasi-organisasi pergerakan pada umumnya, yaitu organisasi yang bersifat semimiliter dan militer. Berikut ini akan dipaparkan tentang perkembangan organisasi pergerakan di zaman pendudukan Jepang. Ada perbedaan antara perkembangan organisasi pergerakan antara zaman kolonial Belanda dengan era pendudukan Jepang yaitu organisasi masa kolonial Belanda umumnya organisasi pergerakan yang muncul dan berkembang diprakarsai oleh para pejuang rakyat Indonesia, tetapi pada zaman Jepang banyak organisasi atau perkumpulan yang berdiri diprakarsai oleh Jepang.

Banyak di antara para tokoh Indonesia yang mencoba memanfaatkan masa pendudukan Jepang untuk melanjutkan perjuangan menuju kemerdekaan. Mereka mengambil sikap dan strategi bekerja sama dengan Jepang. Misalnya saja Sukarno bersedia bekerjasama dengan Jepang. Faktor penyebabnya adalah adanya kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905. Sementara, Moh. Hatta dan Syahrir yang dikenal antifasisme, semestinya menentang Jepang, namun keduanya menyusun strategi yang saling melengkapi. Moh. Hatta mengambil sikap kooperatif dengan Jepang, sementara Syahrir akan menyusun “gerakan bawah tanah” (gerakan rahasia). Sukarno dan Moh. Hatta bergabung dalam mengambil sikap kooperatif dengan Jepang. Langkah tersebut diambil semata-mata demi tujuan yang lebih penting, yakni kemerdekaan.

a. Gerakan Tiga A
Untuk mendapatkan dukungan rakyat Indonesia, Jepang membentuk sebuah perkumpulan yang dinamakan Gerakan Tiga A (3A) pada tanggal 29 Maret 1942. Semboyan, yaitu Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. 
  1. Sebagai pimpinan Gerakan Tiga A, bagian propaganda Jepang (Sedenbu) ditunjuk Mr. Syamsuddin sebagai ketua dengan dibantu beberapa tokoh lain seperti K. Sutan Pamuncak dan Moh. Saleh. 
  2. Sejak bulan Mei 1942, perhimpunan itu mulai diperkenalkan kepada masyarakat melalui media massa. Di dalam Gerakan Tiga A juga dibentuk subseksi Islam yang disebut “Persiapan Persatuan Umat Islam”. Subseksi Islam dipimpin oleh Abikusno Cokrosuyoso.

Ternyata sekalipun dengan berbagai upaya, Gerakan Tiga A ini kurang mendapat simpati dari rakyat. Bulan Desember 1942 Gerakan Tiga A dinyatakan gagal. Beberapa penyebab kegagalan Gerakan Tiga A antara lain gerakan 3 A tidak mendapat sambutan dari rakyat Indonesia yang menyadari bahwa gerakan 3 A dibentuk untuk kepentingan jepang semata dan gerakan 3 A tidak memberi manfaat untuk rakyat Indonesia.

b. Pusat Tenaga Rakyat
Pusat Tenaga Rakyat atau Putera adalah organisasi yang dibentuk pemerintah Jepang di Indonesia pada 16 April 1943 dan dipimpin oleh Empat Serangkai, yaitu Ir.Soekarno M.Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan K.H Mas Mansyur. Tujuan Putera adalah untuk membujuk kaum Nasionalis dan intelektual untuk mengabdikan pikiran dan tenaganya untuk kepentingan perang melawan Sekutu. 
 Banyak organisasi pergerakan yang dibentuk pada zaman Jepang Organisasi Sosial Kemasyarakatan Masa Pendudukan Jepang

Di samping tugas di bidang propaganda, Putera juga bertugas memperbaiki bidang sosial ekonomi. Putera memiliki pimpinan pusat yang dikenal sebagai Empat Serangkai. Kemudian pimpinan daerah dibagi, sesuai dengan tingkat daerah, yakni tingkat syu, ken, dan gun. Putera juga mempunyai beberapa penasihat yang berasal dari orang-orang Jepang. Mereka adalah S. Miyoshi, G. Taniguci, Iciro Yamasaki, dan Akiyama. 

Putera pada awal berdirinya, cepat mendapatkan sambutan dari organisasi massa yang ada. Putera pun berkembang dan bertambah kuat. Putera telah berhasil mempersiapkan rakyat secara mental bagi kemerdekaan Indonesia. Pengaruh Putera semakin meluas yang akhirnya menimbulkan kekhawatiran di pihak Jepang. Putera telah dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin nasionalis untuk mempersiapkan ke arah kemerdekaan, tidak digunakan sebagai usaha menggerakkan massa untuk membantu Jepang, maka pada tahun 1944 Putera dinyatakan bubar oleh Jepang.

c. MIAI dan Masyumi
Jepang lebih ingin bersahabat dengan umat Islam di Indonesia, sebuah organisasi Islam MIAI yang cukup berpengaruhyang dibekukan oleh pemerintah kolonial Belanda, mulai dihidupkan kembali pada tanggal 4 September 1942. Dengan demikian diharapkan MIAI segera dapat digerakkan sehingga umat Islam di Indonesia dapat dimobilisasi untuk keperluan perang. MIAI berkembang baik.Kantor pusatnya semula di Surabaya kemudian pindah ke Jakarta. Adapun tugas dan tujuan MIAI waktu itu adalah:
  • Menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat Indonesia.
  • Mengharmoniskan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman.
  • Ikut membantu Jepang dalam Perang AsiaTimur Raya

MIAI membuat program yang lebih menitikberatkan pada program-program yang bersifat sosio-religius.Secara khusus program-program itu akan diwujudkan melalui rencana: pembangunan masjid Agung di Jakarta, mendirikan universitas, dan membentuk baitulmal. Dari ketiga program ini yang mendapatkan lampu hijau dari Jepang hanya program yang ketiga. MIAI tidak mendapatkan restu pembangunan masjid dan universitas dari Jepang karena program MIAI dinilai tidak berhubungan dengan kegiatan jepang pada waktu itu.beberapa program MIAI juga membuat masyarakat pintar sehingga jepang menolak dan hanya menyetujui satu saja.

Pada bulan Mei 1943, MIAI berhasil membentuk Majelis Pemuda yang diketuai oleh Ir. Sofwan dan juga membentuk Majelis Keputrian yang dipimpin oleh Siti Nurjanah. Bahkan dalam mengembangkan aktivitasnya, MIAI juga menerbitkan majalah yang disebut “Suara MIAI”.

Arah perkembangan MIAI ini mulai dipahami oleh Jepang. MIAI tidak memberi konstribusi terhadap Jepang sehingga pada November 1943 MIAI dibubarkan. Sebagai penggantinya, Jepang membentuk Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia).  Ketua majelis ini adalah Hasyim Asy’ari dan wakil ketuanya dijabat oleh Mas Mansur dan Wahid Hasyim. Orang yang diangkat menjadi penasihat dalam majelis ini adalah Ki Bagus Hadikusumo dan Abdul Wahab.

Masyumi berkembang menjadi wadah untuk bertukar pikiran antara tokoh-tokoh Islam dan sekaligus menjadi tempat penampungan keluh kesah rakyat. Masyumi menolak perintah Jepang dalam pembentukannya sebagai penggerak romusa. Dengan demikian Masyumi telah menjadi organisasi pejuang yang membela rakyat. Sikap tegas dan berani di kalangan tokoh-tokoh Islam itu akhirnya dihargai Jepang.

d. Jawa Hokokai
Tahun 1944, situasi Perang Asia Timur Raya mulai berbalik, tentara Sekutu dapat mengalahkan tentara Jepang di berbagai tempat.  Panglima Tentara ke-16, Jenderal Kumaikici Harada membentuk organisasi baru yang diberinama Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa). Rakyat diharapkan memberikan darma baktinya terhadap pemerintah demi kemenangan perang. Kebaktian yang dimaksud memuat tiga hal: (1) mengorbankan diri, (2) mempertebal persaudaraan, dan (3) melaksanakan suatu tindakan dengan bukti.

Hokokai sampai pimpinan daerahnya langsung dipegang oleh orang Jepang. Pimpinan pusat dipegang oleh Gunseikan, sedangkan penasihatnya adalah Ir. Sukarno dan Hasyim Asy’ari. Di tingkat daerah (syu/shu) dipimpin oleh Syucokan/Shucokandan seterusnya sampai daerah ku oleh Kuco, bahkan sampai gumi di bawah pimpinan Gumico. Dengan demikian, Jawa Hokokai memiliki alat organisasi sampai ke desa-desa, dukuh, bahkan sampai tingkat rukun tetangga (Gumi atau Tonari Gumi). Adapun program-program kegiatan Jawa Hokokai antara lain sebagai berikut:
  • Melaksanakan segala tindakan dengan nyata dan ikhlas demi pemerin-tah Jepang.
  • Memimpin rakyat untuk mengembangkan tenaganya berdasarkan semangat persaudaraan.
  • Memperkokoh pembelaan tanah air.
Jawa Hokokai adalah organisasi pusat yang anggota-anggotanya terdiri atas bermacam-macam hokokai (himpunan kebaktian) sesuai dengan bidang profesinya. Kyoiku Hokokai (kebaktian para pendidik guru-guru) dan Isi Hokokai (wadah kebaktian para dokter). Jawa Hokokai juga mempunyai
anggota istimewa, seperti Fujinkai (organisasi wanita), dan Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan). Di dalam membantu memenangkan perang, Jawa Hokokai telah berusaha antara lain dengan pengerahan tenaga dan memobilisasi potensi sosial ekonomi, misalnya dengan penarikan hasil bumi, sesuai dengan target yang di tentukan.

Organisasi Jawa Hokokai ini tidak berkembang di luar Jawa, sehingga Golongan nasionalis di luar Jawa kurang mendapatkan wadah. Penguasa di luar Jawa seperti di Sumatra berpendapat bahwa di Sumatra terdapat banyak suku, bahasa, dan adat istiadat, sehingga sulit dibentuk organisasi yang besar dan memusat, kalau ada hanya lokal di tingkat daerah saja. Dengan demikian, organisasi Jawa Hokokai ini juga dapat berkembang sesuai yang diinginkan Jepang.