Mataram di masa Sultan Agung berkuasa mampu mewujudkan suatu kemaharajaan. Mataram tumbuh menjadi suatu kekuatan yang besar di tanah Jawa, disamping Banten dan Batavia. Sebagai hasil ekspansi yang dilakukan sejak Panembahan Senopati sampai jatuhnya Surabaya pada masa Sultan Agung, wilayah Mataram sudah bertambah berlipat ganda (Sartono Kartodirdjo, 1987: 148).
Pada awal berdirinya kerajaan Mataram, penguasa Mataram belum melaksanakan politik ekspansi. Raja pada saat itu belum mempunyai kekuasaan yang besar dan luas seperti semasa Sultan Agung. Karena masih mencari bentuk kekuasaan yang cocok. Hal itu perlu dilakukan mengingat nenek moyang raja Mataram yaitu Ki Ageng Pemanahan hanyalah petani. Tentang asal dinasti Mataram sebagai keluarga petani diketahui dari sumber berikut:”....Raja Mataram iku tak umpamaake tebu, pucuke maneh yen legiya, sanajan bongkote ing biyen yo adem bae, sebab raja trahing wong tetanen, angur macula wae bari angon sapi” (G, Moedjanto, 1987: 19).
Kata-kata itu diucapkan oleh Trunajaya dalam sebuah pertemuan melewan Mangkurat II raja Mataram. Dari kata-kata tersebut tersirat bahwa raja Mataram hanyalah keturunan rakyat jelata (petani).
Setelah Senopati berkuasa, Mataram berdiri menjadi kerajaan dan berkembang pesat. Usaha memperluas wilayah mulai dilakukan. Pada tahun 1588 dapat menaklukkan Panaraga. Madiun takluk pada tahun 1590, menyerang Jipan dan Pasuruan di tahun 1591. Usaha memperluas kerajaan Mataram tersebut sesuai dengan konsep keagunganbinataraan yang harus wiyar jajahanipun yang dimaksudnya harus luas dan banyak daerah yang dibawahnya (Gray. Brotoningrat, 1992: 35).
Politik ekspansi Mataram mencapai puncaknya pada masa Sultan Agung. Pada masanya wilayah Mataram bertambah. Kekuasaan Mataram mencapai hampir seluruh Pulau Jawa. Surabaya merupakan daerah terakhir yang berhasil dikuasai oleh Sultan Agung. Mataram tidak langsung menyerang Surabaya tetapi berusaha mematahkan daya tahan kota itu dengan perampasan dan perusakan daerah-daerah sekelilingnya yang dilakukan bertahun-tahun secara teratur. Dengan strategi itu Surabaya dapat ditaklukkan (H. J. De Graaf, 1986: 96).
Keberhasilan penaklukkan dilakukan Sultan Agung ini tidak lepas dari kekuasaan atas militer. Kekuasaan yang dimilikinya memberi komando di bidang kemiliteran termasuk memerintah untuk berperang. Penerapan kekuasaan raja atas militer dapat diperjelas sebagai berikut:
- Raja memerintahkan untuk menyerang orang-orang Pajang dan mengangkut mereka sebagai budak. Siapa yang menentang (melawan) akan dibunuh. Dalam penyerangan tersebut Adipati Jayaraga, Tumenggung Tambak Baya dan Adipati Pajang melarikan diri (H. J. De Graaf, 1986: 45). Pajang diserang karena Tumenggung Tambak Baya tidak mau menyerahkan keduanya kepada raja bahkan menentang Sultan Agung.
- Raja memerintahkan Tumenggung Surantani untuk menaklukan Lumajang, Pemalang dan Renong ( Sugiarta, Sriwibawa, 1983: 10).
- Sebagai pemegang kekuasaan atas militer Sultan Agung sekali waktu memimpin sendiri tentara Mataram. Hal ini ditunjukkan ketika menyerang Wirasaba. Dengan memimpin langsung pasukan menimbulkan semangat kepada tentara Mataram. (Sugiarta Sriwabawa, 1983: 14).
- Penaklukkan Pasuruan pada tahun 1617. Tumenggung Martalaya diperintahkan oleh raja untuk menaklukkan Pasuruan, untuk itu raja memerintahkan pasukan untuk berkemah di sebelah selatan kota, tetapi Martalaya diperintahkan berkemah di sebelah tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa komando tetap masih dipegang oleh Sultan Agung (H. J. de Graaf, 1986: 42).
- Raja mempunyai wewenang untuk memerintah rakyatnya yang bertani jika dalam keadaan darura dimobilisasi menjadi tentara. Tentara ini tidak dibayar, semua dibaktikan sukarela kepada raja (H. J. de Graaf, 1986: 128).
Tindakan-tindakan raja dengan perintah-perintahnya menunjukkan bahwa raja adalah pemegang otoritas tertinggi di bidang militer. Tidak ada kata tidak untuk perintah raja. Semua perintah harus ditaati dan dipatuhi. Hal ini tidak dirasakan sebagai tindakan sewenang-wenang tetapi merupakan bakti rakyat kepada negara. Namun bukan berarti tindakan dari Sultan Agung itu tanpa tantangan. Tahun 1617 rentetan kemenangan yang dialami oleh Mataram terputus dengan adanya pemberontakan Pajang (Sudibjo, 1980: 152).
Berdasarkan pengalaman itu agar kedudukan raja menjadi kuat dan tidak terancam maka orang-orang yang tidak sepaham disingkirkan. Disingkirkan berarti dibuang atau dilenyapkan (dibunuh) dan ini dilakukan sendiri, mungkin agar tidak berkembang menjadi ancaman yang lebih besar. Dengn berbagai cara dan usaha, penyingkiran orang yang tidak sepaham terkesan selalu dibenarkan. Hal ini dikarenakan orang yang tidak sepaham dikategorikan sebagai pemberontak dan harus dilenyapkan. Tindakan ini dilakukan dihadapan umum untuk menjadi pelajaran bagi orang yang lain agar jangan sekali-kali untuk menentang raja. Penyingkiran orang yang dilakukan oleh Sultan Agung terutama adalah pangeran Pekik yaitu Adipati Surabaya (G. Moedjanto, 1987: 87).
Perkembangan kerajaan pada masa Sultan Agung membawa pada sebuah keadaan dimana Mataram tumbuh menjadi salah satu kerajaan terbesar di tanah Jawa. Keadaan berubah setelah kedatangan VOC sebagai persekutuan dagang Belanda yang bermaksud menguasai seluruh Jawa dan sekitarnya. Tahun 1916 Pulau Jawa menjadi pusat perdagangan dari VOC (Sutrisno Kutoyo, 1986: 51).
Selanjutnya Sultan Agung dengan tegas menolak kerjasama dengan VOC yang dinilai membahayakan Mataram. Sultan Agung pun berniat untuk mengusir VOC dari Batavia. Hubungan VOC dan Mataram tidak seperti awal kedatangan Belanda di Jawa. Penghinaan yang dilakukan orang-orang Jan Pieter Zoon Coen dan pemerkosaan terhadap warga pribumi Islam semakin menambah kemantapan Sultan Agung untuk menyerang Belanda (Suratmin, 1990: 33).
Koordinasi pasukan segera dilakukan Sultan Agung menggunakan para wiratani untuk dilatih menjadi prajurit. Untuk tingkat desa sedikitnya harus berstatus prajurit, kepala desa sebagai pemimpin prajurit sehingga disebut paratus artinya pemimpin seratus prajurit. Sedangkan untuk daerah setingkat Kecamatan harus mempunyai seribu prajurit dan pemimpinnya disebut penewu. Pembinaan militer dilakukan dengan latihan perang yang dilaksanakan di alun-alun tiap satu minggu sekali (Pranata SSP, 1992: 17).
Para wiratani rela meninggalkan sawah untuk menjadi prajurit sebagai wujud kesetiaan kepada raja. Apalagi keadaan kerajaan mulai terancam oleh bangsa lain. Persediaan dan perbekalan disiapkan diberbagai tempat yang akan dilalui pasukan Mataram seperti Kendal, Pekalongan, Tegal, Cirebon, dan Krawang. Jawa kemudian disatukan dibawah komando Mataram untuk menyerang Batavia ( Suratmin, 1990: 72).
Tahap pertama penyerangan dilakukan pada tanggal 22 Agustus 1628 dengan 59 kapal yang menyamar dan telah terkoordinasi dan semua dipersiapkan dengan matang. Namun serangan pertama dapat digagalkan oleh Belanda. Sultan Agung belum menyerah, ia kemudian melakukan persiapan untuk serangan kedua, tanggal 16 April 1629 Mataram kembali menyerang Batavia. Kali ini dengan kekuatan yang lebih besar dan dibangun pos-pos untuk perbekalan disetiap kota. Namun serangan yang kedua ini juga mengalami kegagalan. Hal itu dikarenakan pos perbekalan pasukan Mataram dibakar habis oleh Belanda (H. J. de Graaf, 1986: 156).
Kegagalan yang dialami Sultan Agung dalam menyerang Batavia ini menyebabkan Mataram kehilangan banyak prajurit. Sebagian besar mereka tewas dalam perjalanan pulang dan sebagian lagi tewas karena mendapat hukuman sesampainya di Mataram. Banyak pasukan yang tewas menjadikan Mataram melemah dan memerlukan banyak waktu untuk konsolidasi pasukan (Hussein Jajadiningrat, 1983: 72).
Dampak lain dari kegagalan menyerang Batavia adalah turunnya kewibawaan dari kerajaan Mataram. Sebagian dari daerah tidak lagi percaya terhadap kesaktian Sultan Agung. Beberapa daerah tidak setia lagi kepada Mataram dan melakukan pemberontakan yaitu Sumedang dan Ukur. Ketidaksetiaan mereka sudah dinilai sejak pengepungan Batavia. Hal ini dijadikan alasan Sultan Agung untuk mengirimkan pasukan untuk menyerang Sumedang dan Ukur (Mc. Ricklefs, 2002: 71).
Tetapi terlepas dari hal itu keberhasilan Sultan Agung menduduki Jawa dan kekelahan dari VOC, beliau merupakan seorang raja yang mampu membawa kejayaan Mataram dari segi politis. Berbagai kebijakan yang dilakukan telah membawa Mataram menjadi kerajaan yang disegani dan kuat.
Sumber Bacaan
De Graaf H. J., 1986, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (terjemahan Pustaka Grafiti Press), Jakarta: Pustaka Grafiti Press.
Brotoningrat, G.R.Ay. 1992, Rante Emas Sejarah Mataram, Surakarta: Pustaka Kuntara.
Hussein Jajadiningrat, 1983, Tinjauan Kritis Sejarah Banten, Jakarta: Djambatan.
Mc. Ricklefs, 2002, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa (terjemahan Hartono Hadikusumo), Yogyakarta: Mata Bangsa.
Moedjanto G., 1987, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, Yogyakarta: Kanisius.
Pranata SSP, 1992, Sultan Agung Hanyakrakusuma: Raja Terbesar Kerajaan Mataram Abad ke-17, Yogyakarta: Taman Siswa.
Sartono Kartodirdjo, 1987, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium, Jakarta: Gramedia.
Sudibjo ZH, 1980, Babad Tanah Jawi, Jakarta: Depdikbud.
Sugiarta, Sriwibawa, 1983, Babad Tanah Jawi I, Jakarta: Pustaka Jaya.
Suratmin, 1990, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di DIY, Jakarta: Depdikbud.
Sutrisno Kutoyo, 1986, Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung ke Batavia, Jakarta: Depdikbud.